Pada zaman pemerintahan VOC, dukuh Leuwimunding membawahi empat wilayah
Pendukuhan diantaranya : Dukuh Leuwimunding, Dukuh Lebak (Leuwikujang),
Dukuh Cirabak (Mirat) dan Dukuh Cibatur / Buah Nyebrak (Ciparay).
Keempat
Dukuh tersebut diperintah oleh seorang Kokolot Dukuh yang bernama Buyut
Dukuh, pada tahun 1803 M, Kuwu Buyut Dukuh berada dibawah pemerintahan
di Dusun Tarikolot (Mirat).
Leuwimunding merupakan ibu kota Distrik / Kewedanaan yang membawahi
beberapa Distrik / Kecamatan seperti : Kecamatan Leuwimunding, Kecamatan
Rajagaluh dan Kecamatan Sukahaji.
Nama Leuwimunding sendiri diambil dari asal sebuah danau yang berada
ditengah-tengah hutan belantara yaitu Sang Hyang Dora diwilayah
pegunungan Kromong yang berbatasan dengan pabrik semen Palimanan
sekarang ini. Selain airnya jernih air danau itu dapat diminum dan
airnya tidak pernah kering meskipun di musim kemarau karena dikelilingi
pohon-pohon besar yang umurnya sudah ratusan tahun.
Di musim kemarau danau itu sering dipakai minum satwa liar diantaranya
banyak Banteng hutan yang minum bahkan mandi berendam (guyang) di danau
tersebut. Kata orang gunung mereka menyebut Banteng dengan sebutan
“Munding” sehingga akhirnya danau tersebut disebut “Leuwimunding” yang
artinya “Leuwi” berarti danau dan “Munding” berarti Banteng hutan.
Adapun lokasinya bekas danau alam itu adalah komplek gedung SMP
membujur ke selatan sampai kantor Kecamatan Leuwimunding yang sekarang
dipakai kantor PWRI, sementara kantor Kecamatan sekarang menggunakan
bekas kantor Kewedanaan Leuwimunding.
Pada zaman pemerintahan Desa Bapak Uwa (1852-1976 M) komplek itu
dipakai pasar dan kalau tiba musim pasaran para pedagang pasar itu penuh
meluber memenuhi alun-alun hingga kedepan Mesjid dan mengganggu lalu
lintas walaupun kendaraan waktu itu hanya Pedati yang ditarik kerbau dan
Delman dengan empat kuda.
Di zaman pemerintahan Desa Bapak Tirta karya (1925-1938 M) pasar itu
pindah kesebelah utara sampai sekarang. Tanah yang dipakai sekarang
tadinya adalah milik Pabrik Gula (PG) Parung Jaya, pada tahun 1930 PG
Parung Jaya mengalami kebangkrutan dan tanahnya dijual ke pihak Desa
Leuwimunding pada waktu itu Bapak Kuwu Tirta Karya masih memerintah
kemudian dibangun kembali pasar sampai sekarang.
Terjadinya pemekaran Desa dilakukan pada masa pemerintahan Kuwu Tirka
Karya, Beliau adalah pencetus dan perintis Desa-desa pemekaran dari Desa
Leuwimunding. Hingga saat ini Kecamatan Leuwimunding memiliki 14 Desa
diantaranya: Desa Leuwimunding, Ciparay, Heuleut, Karangasem, Lame,
Leuwikujang, Mindi, Mirat, Nanggerang, Parakan, Parungjaya, Patuanan,
Rajawangi dan Tanjungsari. Dari ke 14 Desa tersebut semuanya berbahasa
Sunda kecuali satu Desa yang menggunakan bahasa Jawa, yaitu Desa
Patuanan.
Penduduk
asli Leuwimunding menurut cerita berasal dari dari daerah Talaga
sekitar abad ke 17 M mereka datang mencari kehidupan baru serta
menjalankan misi menyebarkan agama Islam waktu itu Leuwimunding masih
kental dengan ajaran Hindu dibawah kekuasaan Kerajaan Galuh, sehingga
pantaslah kalau di Leuwimunding tempo “doeloe” menjadi pusat
pengembangan agama Islam.
Dari dulu hingga sekarang masyarakat Leuwimunding termasuk masyarakat
yang agamis memegang adat dan kesusilaan yang sangat kuat memiliki sifat
“nrimo” dan selalu sopan santun, persaudaraan yang kuat serta jiwa
gotong royong dikalangan warga masyarakatnya sudah terjalin sejak dahulu
kala.
Berikut adalah urutan para pemimpin Desa Leuwimunding/Kuwu Leuwimunding dari masa ke masa :
1. Bapak Dukuh : Tahun 1803
2. Bapak Uwa Kedung Bapak : Tahun 1852-1876
3. Bapak H. Tohir Kedung Anak : Tahun 1876
4. Bapak Wangsa Karya : Tahun 1876-1882
5. Bapak H. Tohir : Tahun 1882-1898
6. Bapak Sampeni : Tahun 1898-1902
7. Bapak H. Abdul Hamid : Tahun 1902-1924
8. Bapak Tirta Karya : Tahun 1924-1938
9. Bapak Jam Raksadisastra : Tahun 1938-1941
10. Bapak Adul : Tahun 1941-1962
11. Bapak Basuni : Tahun 1962-1978
12. Bapak Idi Saidi : Tahun 1978-1988
13. Bapak Rachmat Mukti : Tahun 1989-1997
14. Bapak Supandi : Tahun 1999-2002
15. Ibu Eti Nurhati : Tahun 2003-2013
Demikian urutan kepala pemerintahan Desa Leuwimunding, pada nama2 kuwu
yang ditulis tebal adalah asli putera daerah (turunan buyut Kedung)
sementara nama2 kuwu yang ditulis tipis adalah bukan putera daerah. Pada
nomor urut 4 Bapak Wangsa Karya sifatnya hanya menggantikan kuwu
definitive yang sedang menjalankan ibadah haji, kita tahu waktu itu
pergi haji bisa memakan waktu 5tahun lebih untuk perjalanan pergi
pulang.
Memang
kalau dilihat urutan para Kuwu banyak didominasi oleh putera daerah,
disini ada yang menarik pada urutan 14 dan 15 dimana Bapak Supandi dan
Ibu Eti Nurhati adalah pasangan suami isteri (orang tua kandung
Penulis), Bapak Supandi menjabat Kuwu hanya kurang lebih 3 tahun, karena
penyakit yang dideritanya beliau meninggal dunia sebelum masa jabatan
Kuwu nya berakhir, selanjutnya jabatan Kuwu itu tidak serta merta
langsung digantikan oleh isterinya, tetapi tetap melalui proses
demokrasi yaitu pilihan Kuwu, yang akhirnya dimenangkan oleh sang isteri
almarhum dengan menyisihkan dua kandidat lainnya, yang sebelumnya
dijabat oleh sekretaris Desa selama kekosongan kepala pemerintahan
kira-kira 1 tahun.
No comments:
Post a Comment