Pengertian dan Hakikat
Manusia
adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial.
Sebagai makhluk individu ia memiliki karakter yang unik, yang berbeda
satu dengan yang lain (bahkan kalaupun merupakan hasil
cloning), dengan fikiran dan kehendaknya yang bebas. Dan
sebagai makhluk sosial ia membutuhkan manusia lain,
membutuhkan sebuah kelompok - dalam bentuknya yang
minimal - yang mengakui keberadaannya, dan dalam
bentuknya yang maksimal - kelompok di mana dia dapat bergantung
kepadanya.
Kebutuhan
untuk berkelompok ini merupakan naluri yang alamiah,
sehingga kemudian muncullah ikatan-ikatan - bahkan pada manusia
purba sekalipun. Kita mengenal adanya ikatan keluarga, ikatan
kesukuan, dan pada manusia modern adanya ikatan profesi,
ikatan negara, ikatan bangsa, hingga ikatan peradaban dan
ikatan agama. Juga sering kita dengar adanya ikatan
berdasarkan kesamaan species, yaitu sebagai homo erectus
(manusia), atau bahkan ikatan sebagai sesama makhluk
Allah.
Islam
sebagai sebuah peradaban - terlebih sebagai sebuah din -
juga menawarkan bahkan memerintahkan/menganjurkan adanya sebuah
ikatan, yang kemudian kita kenal sebagai ukhuwah Islamiah. Dalam
Wawasan Al Qur'an, Dr. Quraish Shihab menulis bahwa
ukhuwah (ukhuwwah) yang biasa diartikan sebagai
"persaudaraan", terambil dari akar kata yang pada mulanya
berarti "memperhatikan". Makna asal ini memberi kesan
bahwa persaudaraan mengharuskan adanya perhatian semua
pihak yang merasa bersaudara.
Sedang
makna ukhuwah Islamiah terkadang diartikan sebagai
"persaudaraan antar sesama muslim", di mana kata "Islamiah"
menunjuk kepada pelaku; dan terkadang juga diartikan sebagai
"persaudaraan yang bersifat Islami atau yang diajarkan
oleh Islam", di mana di sini kata "Islamiah" difahami
sebagai kata sifat.
Dalam
kajian ini, kedua makna tersebut saya gunakan sehingga
ukhuwah islamiah diartikan sebagai "persaudaraan antar sesama
muslim yang diajarkan oleh Islam dan bersifat Islami". Dengan
definisi yang 'lengkap' ini, pertanyaan what, who dan how
tentang ukhuwah Islamiah ini secara general telah
terjawab.
Dalam kaitannya dengan hali ini, Allah berfirman:
Artinya:
"Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara
karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada
Allah supaya kamu mendapat rahmat." (Al Hujurat:10)
Juga di dalam sebuah hadits dari Ibnu Umar ra yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, Rasulullah saw bersabda:
Artinya:
"Orang muslim itu saudara bagi orang muslim lainnya. Dia
tidak menzaliminya dan tidak pula membiarkannya dizalimi."
Dari
dalil naqli di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa
sesama muslim dan juga sesama mu'min adalah bersaudara, di mana
tentunya kesadaran terhadap hal ini akan memberikan konsekuensi
berikutnya.
Kedudukan dan Peran
Penyebutan
secara eksplisit adanya persaudaraan antar sesama muslim
(dan mu'min) di dalam Al Qur'an dan Hadits menunjukkan bahwa
hal tersebut merupakan sesuatu yang perlu diperhatikan oleh kaum
muslimin. Dalam prakteknya, Rasulullah saw juga menganggap
penting akan hal ini. Terbukti pada saat hijrah ke
Madinah, Rasulullah saw segera mempersaudarakan shahabat
Anshor dengan shahabat Muhajirin, seperti Ja'far bin Abi
Thalib yang dipersaudarakan dengan Mu'adz bin Jabal, Abu
Bakar ash Shiddiq dengan Kharijah bin Zuhari, Umar bin
Khaththab dengan 'Utbah bin Malik, dst.
Dari
sini kita dapat mengambil pelajaran bahwa sebuah komunitas
(bisa berbentuk negara) hanya akan eksis dengan adanya kesatuan
dan dukungan elemen-elemennya. Sedang kesatuan dan dukungan
ini tidak akan lahir tanpa adanya rasa saling bersaudara
dan mencintai. Namun persaudaraan inipun perlu didahului
oleh suatu faktor pemersatu, berupa ideologi atau aqidah.
Dari sini mungkin kita mulai dapat menarik kesimpulan
penyebab aksi-aksi separatisme di tanah air, ataupun
lemahnya kekuatan kaum muslimin dewasa ini. Dua komunitas
dengan rasa kesatuan yang nyaris hilang.
Ukhuwah
juga merupakan salah satu pilar kekuatan (quwwatul
ukhuwwah) di samping pilar kekuatan lainnya, seperti kekuatan iman,
senjata, dll. Banyak contoh yang menunjukkan kehancuran
sebuah komunitas yang disebabkan oleh ketiadaan ukhuwah.
Tahapan Implementasi
Dalam
rangka mewujudkan ukhuwah Islamiah - bahkan juga dalam
rangka menjalin hubungan dalam maknanya yang umum - ada beberapa
tahapan konseptual yang perlu diperhatikan. Secara garis besar
tahapan tersebut dapat dibagi menjadi:
- Ta'aruf Ta'aruf
dapat diartikan sebagai saling mengenal. Dalam
rangka mewujudkan ukhuwah Islamiyah, kita perlu mengenal orang
lain, baik fisiknya, pemikiran, emosi dan kejiwaannya. Dengan
mengenali karakter-karakter tersebut,
Dalam Surat Al Hujurat, Allah berfirman:
Artinya:
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu
di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di
antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal." (Al Hujurat:13)
Ta'aruf
ini perlu kita lakukan dari lingkungan yang terdekat
dengan kita. Dengan keluarga, dengan lingkungan sekolah
atau tempat bekerja, hingga berta'aruf dalam komunitas yang
lebih luas, seperti dalam komunitas KMII.
- Tafahum Pada
tahap tafahum (saling memahami), kita tidak sekedar
mengenal saudara kita, tapi terlebih kita berusaha untuk memahaminya.
Sebagai contoh jika kita telah mengetahui tabiat
seorang rekan yang biasa berbicara dengan nada keras,
tentu kita akan memahaminya dan tidak menjadikan
kita lekas tersinggung. Juga apabila kita mengetahui
tabiat rekan lain yang sensitif, tentu kita akan
memahaminya dengan kehati-hatian kita dalam bergaul dengannya.
Perlu
diperhatikan bahwa tafahum ini merupakan aktivitas
dua arah. Jadi jangan sampai kita terus memposisikan diri ingin
difahami orang tanpa berusaha untuk juga memahami orang lain.
- Ta'awun Ta'awun
atau tolong-menolong merupakan aktivitas yang
sebenarnya secara naluriah sering (ingin) kita lakukan. Manusia
normal umumnya telah dianugerahi oleh perasaan 'iba' dan
keinginan untuk menolong sesamanya yang menderita
kesulitan - sesuai dengan kemampuannya. Hanya saja
derajat keinginan ini berbeda-beda untuk tiap
individu.
Dalam surat Al Maidah, Allah berfirman:
Artinya:
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya." (Al
Maaidah:2)
Dalam dalam hadits:
Artinya:
"Dan Allah akan selalu siap menolong seorang hamba
selama hamba itu selalu siap menolong saudaranya."
Juga
dalam hadits Ibnu Umar di atas ("al muslimu akhul
muslimi ..."), seterusnya disebutkan bahwa siapa yang
memperhatikan kepentingan saudaranya itu maka Allah memperhatikan
kepentingannya, dan siapa yang melapangkan satu kesulitan
terhadap sesama muslim maka Allah akan melapangkan
satu dari beberapa kesulitannya nanti pada hari
qiyamat, dan barangsiapa yang meneymbukan rahasia
seorang muslim maka Allah menyembunyikanrahasianya nanti
pada hari qiyamat.
Dalil
naqli di atas memberi encouragement bahkan perintah
kepada orang beriman untuk tolong-menolong, yang dibatasi hanya
dalam masalah kebajikan dan taqwa. Bentuk tolong-menolong ini
bisa dilakukan dengan saling mendo'akan, saling
menasihati, juga saling membantu dalam bentuk amal
perbuatan. Kalaupun tidak turut berperang, kita dapat
ikut menyediakan bekal menghadapi peperangan,
misalnya.
Dalam masalah-masalah
yang jelas kesalahannya, kita dilarang untuk saling
memberikan pertolongan. Contoh ringan yang mungkin
pernah kita alami saat masih sekolah, misalnya
memberi contekan saat ulangan. Mungkin saat itu kita merasa
sungkan untuk menolak memberi 'pertolongan'. Dan contoh yang
lebih berat mungkin akan sering kita jumpai seiring
dengan semakin dewasanya kita dan semakin kompleksnya
permasalahan yang kita hadapi.
Dalam hal ini kita perlu memperhatikan hadits shahih dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:
Artinya:
"Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim atau yang
dizalimi." Aku bertanya, "Ya Rasulullah, menolong
orang yang dizalimi dapatlah aku mengerti. Namun, bagaimana
dengan menolong orang yang berbuat zalim?" Rasulullah menjawab,
"Kamu cegah dia agar tidak berbuat aniaya, maka itulah
pertolonganmu untuknya."
Jadi
kita seharusnya berterima kasih jika ada yang
menegur kita, bahkan mencegah kita dengan kekuatan manakala
kita sedang berbuat kesalahan.
- Takaful
Takaful ini akan melahirkan perasaan senasib dan
sepenanggungan. Di mana rasa susah dan sedih saudara
kita dapat kita rasakan, sehingga dengan serta merta
kita memberikan pertolongan. Dalam sebuah hadits
Rasulullah memberikan perumpamaan yang menarik tentang
hal ini, yaitu dengan mengibaratkan orang beriman - yang bersaudara
- sebagai satu tubuh.
Dalam hadits:
Artinya:
"Perumpamaan orang-orang beriman di dalam kecintaan,
kasih sayang, dan hubungan kekerabatan mereka adalah
bagaikan tubuh. Bila salah satu anggotanya mengaduh sakit maka
sekujur tubuhnya akan merasakan demam dan tidak bisa tidur."
Unsur pokok di dalam ukhuwah adalah mahabbah (kecintaan), yang terbagi dalam beberapa tingkatan:
- Tingkatan
terendah adalah salamus shadr (bersihnya jiwa) dari
perasaan hasud, membenci, dengki dan sebab-sebab
permusuhan/pertengkaran. Dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Bukhari Muslim, Rasulullah saw bersabda bahwa
tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya
selama tiga hari, yang apabila saling bertemu maka ia
berpaling, dan yang terbaik di antara keduanya adalah yang
memulai dengan ucapan salam. Juga dalam hadits lain yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Rasulullah saw bersabda
bahwa ada tiga orang yang shalatnya tidak diangkat di
atas kepala sejengkal pun, yaitu seorang yang mengimami
suatu kaum sedangkan kaum itu membencinya, wanita yang
diam semalam suntuk sedang suaminya marah kepadanya,
dan dua saudara yang memutus hubungan di antara keduanya.
- Tingkatan
berikutnya adalah cinta. Di mana seorang muslim
diharapkan mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri,
seperti dalam hadits: "Tidak sempurna iman
seseorang di antara kamu sehingga ia mencintai
saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri." (HR
muttafaq alaihi)
- Tingkatan yang tertinggi
adalah itsar, yaitu mendahulukan kepentingan saudaranya
atas dirinya dalam segala sesuatu yang ia cintai,
sesuatu yang untuk zaman sekarang sering baru mencapai
tahap wacana. Patut kita renungkan kisah sahabat nabi dalam sebuah
peperangan, di mana dalam keadaan sekarat dan kehausan dia
masih mendahulukan saudaranya yang lain untuk menerima
air. Juga contoh yang dilakukan
oleh shahabat Anshar, Sa'ad bin rabbi' yang
menawarkan hartanya, rumahnya, istrinya yang terbaik
untuk dimiliki oleh Abdurrahman bin Auf. Dalam hal ini
Abdurrahman bin Auf pun berlaku iffah dengan hanya meminta untuk
ditunjukkan jalan ke pasar. Kisah-kisah di atas kalaupun
belum mampu kita lakukan, minimal kita jadikan
sebagai sebuah motivasi awal untuk sedikit lebih
memperhatikan saudara kita yang lain.
Implementasi
Ada
banyak contoh kongkrit dari manfaat yang dapat diperoleh
dengan adanya ukhuwah berbasis apapun. Sebagai contoh adalah kasus
semut Argentina di Eropa. Para pemerhati serangga mengamati
bahwa penyebaran semut Argentina di Eropa semakin meluas
dan dikhawatirkan akan semakin dominan mengalahkan semut
asli Eropa. Setelah diteliti, ternyata penyebaran yang
cepat ini disebabkan semut Argentina - yang berada di
Eropa - menganggap semut Argentina lainnya yang berasal
dari sarang yang berbeda sebagai teman. Berbeda dengan semut Eropa,
yang walaupun satu spesies, namun sering terjadi pertempuran
antar sarang yang berbeda. Dari sini kita melihat bahwa
'ukhuwah' semut Argentina yang berdasarkan kesamaan
species mampu memberikan kekuatan untuk mengalahkan semut
Eropa yang hanya memiliki 'ukhuwah' berdasarkan kesamaan
sarang.
Pada
hewan, persaudaraan sering hanya bertujuan untuk mempertahankan
eksistensi dan melanjutkan keturunan. Sedang pada manusia -
khususnya bagi muslim, seperti telah disebutkan di atas,
hal ini telah disebutkan secara eksplisit di dalam hadits
maupun ayat Al Qur'an.
Memperhatikan
kondisi umat Islam dewasa ini, ada beberapa hal yang
perlu kita perhatikan terkait dengan ukhuwah Islamiyah
sebagai berikut:
Kurang idealnya hubungan antar pribadi muslim (skala mikro)
Kalau
kita memperhatikan uraian di atas akan kita temui bahwa
kita masih jauh dari kondisi ideal. Oleh karena itu kita perlu
mencoba meniti tahapan-tahapan dalam mewujudkan ukhuwah Islamiyah
di antara umat Islam, khususnya di Jepang ini. Hal ini
dapat kita awali dengan meningkatkan kualitas dan
kuantitas interaksi (termasuk interaksi maya melalui
internet) dengan saudara kita, sehingga kita akan dapat
lebih mengenalnya sebagai tahap awal dari ukhuwah Islamiyah.
Terkait dengan masalah ini Hasan Al Bashri pernah berujar, "Bertemu
dengan saudara kami lebih aku sukai daripada isteri dan
anak kami. Karena keluarga kami mengingatkan kami dengan
dunia, sedangkan saudara kami mengingatkan kami dengan
akhirat." (Ihya Ulumuddin,2/176)
Untuk itu antara lain kita perlu lebih mengaktifkan organisasi-organisasi lokal keislaman di lingkungan kita.
Walaupun
demikian untuk lebih mengefektifkan interaksi tersebut,
perlu kita perhatikan nasihat Ibnul Qayyim yang menyebutkan
bahwa pertemuan para saudara itu terbagi dua. Yang pertama pertemuan
sekedar melepas rindu dan melewati waktu, di mana
pertemuan seperti ini lebih banyak bahayanya daripada
manfaatnya. Minimal, merusak hati dan menyia-nyiakan
waktu. Yang kedua pertemuan para saudara untuk saling
menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Dan inilah
harta yang paling bermanfaat. (Al Fawaid, Ibnul Qayyim)
Juga
kita perlu memperhatikan amalan-amalan ringan yang
dapatmeningkatkan kecintaan kita kepada saudara kita, di antaranya
dengan:
- Menyebarkan salam setiap bertemu
- Bermujamalah (berwajah ceria) ketika mendapat ni’mat
- Berta'ziah ketika ada yang mendapat musibah
- Menjenguk orang sakit
- Mendo'akan orang bersin
- Saling memberi hadiah, dll.
Bercerai berainya umat Islam (skala makro)
Tidak
dapat kita pungkiri bahwa umat Islam dewasa ini tidak
dalam keadaan bersatu, baik dalam skala internasional maupun dalam
skala nasional. Memang keragaman pandangan dan sikap merupakan
sebuah keniscayaan bagi kaum muslimin. (bahkan dalam Al
Hujurat:10 di atas, perintah "faashlihu baina akhowaikum"
memberikan isyarat bahwa dalam kaum mu'min pun masih
memungkinkan terjadinya perselisihan). Adanya ikhtilaf
dan perbedaan pendapat pun bukanlah sesuatu yang tabu,
kecuali dalam masalah yang pokok dan nash-nash yang qath'i
dan disepakati (mis: aqidah).
Namun
demikian setiap lembaga yang mengusung nilai-nilai Islam
(atau orang-orang yang berada dalam lembaga tersebut) seharusnya
mampu untuk bekerja sama dalam hal-hal yang telah disepakati,
sambil tentunya tetap tidak meninggalkan kewajiban untuk
saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Hanya
dengan hal itulah potensi umat Islam dapat tersalurkan
dengan baik untuk memecahkan permasalahan umat yang
sangat beragam.
Juga
jangan sampai kita terjangkit penyakit ashobiyah,
fanatisme terhadap golongan, di mana dalam hal ini Rasulullah saw
bersabda:
"Bukan
termasuk umatku orang yang mengajak pada ashabiyah, dan
bukan termasuk umatku orang yang berperang atas dasar ashabiyah,
dan bukan termasuk umatku orang yang mati atas dasar ashabiyah."
(HR Abu Dawud)
Keberadaan musuh di luar Islam
Keberadaan
musuh di luar Islam adalah sebuah fakta yang tidak perlu
ditutup-tutupi. Allah pun telah menyebutkannya dalam Al
Baqarah:120 tentang tidak ridhonya kaum Yahudi dan Nasrani terhadap
umat Islam, hingga umat Islam meninggalkan diinnya dan
mengikuti diin mereka. Dan juga permusuhan syetan yang
abadi terhadap keturunan Adam.
Terhadap
kondisi yang telah jelas - terang-benderang ini -
seharusnya umat Islam tidak ragu-ragu lagi dalam bersikap. Apalagi
di dalam tahun-tahun terakhir ini, pertentangan-pertentangan
ini sering muncul ke permukaan. Dalam skala dunia, mulai
dari muculnya thesis Samuel Huntington tentang bentrokan
peradaban hingga yang paling mutakhir adalah pencanangan
"War on Terrorism" dengan pemaknaan terorisme yang bias.
Lengkap dengan aksi-aksi sepihak di berbagai belahan
bumi, seperti di Palestina, Bosnia dan Chechnya. Untuk
lingkup nasional pun kita masih tetap prihatin dengan konflik
yang terjadi antara lain di Maluku dan Poso, yang mudah-mudahan
segera memberikan solusi yang terbaik.
Terhadap
kondisi ini banyak yang dapat dilakukan oleh kaum
muslimin selain sekedar berdiam diri. Untuk kasus-kasus di mana
terjadi penindasan umat Islam kita dapat turut membantu dengan
do'a kita, dengan dana kita, atau dengan opini yang
berusaha kita bentuk. Sambil tentunya tidak lupa kita
memperkuat simpul-simpul kekuatan untuk mencegah
penindasan di masa mendatang; kekuatan iman, kekuatan
ukhuwah, juga kekuatan pendukung lainnya, seperti persenjataan,
ekonomi, dll.
Terakhir saya hanya ingin mengajak kita untuk merenungkan ayat berikut:
Artinya:
"Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang
beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang
berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka,
akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka.
Sesungguhnya Dia Maha Perkasa, lagi Maha Bijaksana." (Al
Anfaal:63)
Semoga
Allah menyatukan hati-hati kita, menjadikan kita saling
mencintai karena Dia; sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Tirmidzi Rasululllah saw bersabda:
"Di
sekitar Arsy ada menara-menara dari cahaya. Di dalamnya
ada orang-orang yang pakaiannya dari cahaya dan wajah-wajah
mereka bercahaya. Mereka bukan para nabi atau syuhada'. Para nabi
dan syuhada' iri kepada mereka. Ketika ditanya para
shahabat, Rasulullah menjawab, "Mereka adalah orang-orang
yang saling mencintai karena Allah, saling bersahabat
karena Allah dan saling kunjung karena Allah."